Nggak terasa ya, tahun 2020 udah tinggal menghitung hari saja. Rasanya baru kemarin saya membuka tahun 2019 dengan mendengarkan lagu Dreamer dari The Head and The Heart sambil mengerjakan sesuatu di laptop, entah piket atau job freelance, saya lupa. Sekarang, tiba-tiba sudah nyaris di ujung tahun 2019, saat kata-kata ‘resolusi’ kembali bertebaran di dunia maya.
Ah, resolusi…
Saya bukan orang yang suka membuat resolusi secara gamblang gitu sih, seperti menuliskannya dalam bucket list, lalu mencoret yang sudah berhasil dicapai. No, that’s not typically me. Tapi, tetap aja, setiap tahun selalu ada yang diharapkan, selalu ada yang ingin dicapai, selalu ada yang ingin dikejar.
Sambil memantau timeline menjelang pergantian tahun, ada banyak cerita dari mereka yang berada dalam circle pertemanan media sosial saya. Ada yang bahagia mendapatkan pekerjaan baru, bisa benar-benar mewujudkan traveling goalsnya, bahkan ada yang berhasil menemukan soulmate, the one, partner of life, dan siap menyambut tahun depan dengan kehidupan baru.
Daaaan, harus diakui, 2019 adalah salah satu tahun paling berat buat saya. Physically and emotionally. Tahun ini saya benar-benar habis-habisan, baik secara fisik, mental, material. Banyak family matter yang begitu menguras energi dan emosi, ada sebuah target yang selalu saja terlewat setiap tahunnya, bukannya nggak tercapai, memang belum ada effort untuk mencapai. Dan, mungkin, salah satu puncaknya adalah merasakan patah hati di momen dan saat yang nggak seharusnya.

Patah hati sepatah-patahnya karena dengan sadar melepaskan sesuatu yang diinginkan, tidak pernah berusaha benar-benar mempertahankan, dan mengira sesuatu itu akan terus ada di tempatnya, menunggu untuk dikejar. Tapi kenyataannya, saya melepaskannya dengan sadar dan baru tersadar jika patah hati di kemudian hari.
Menyesal? Entahlah, saya nggak yakin momen itu layak disebut penyesalan, mengingat saya melakukannya dengan penuh kesadaran.
Hmmm *hela napas panjang*
And then I have to admit something. I am at the very lowest point of my life.
They say, family is a gift. Ya, keluarga memang anugerah, dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaannya. Artinya, apapun yang berhubungan dengan keluarga akan selalu mempengaruhi perjalanan hidupmu, karena itulah pusat duniamu. Di tahun ini saya benar merasakannya. Family matter jadi hal yang paling berat, karena keluarga adalah hal yang nggak bisa kamu ubah. Mereka menjadi bagian masa lalu dan selalu ada di masa depanmu. Merekalah yang mempengaruhi inner child kamu. Nah, dari sini bahasannya jadi agak serius deh…
Menurut situs Pijar Psikologi, inner child adalah sisi kepribadian seseorang yang masih bereaksi dan terasa seperti anak kecil atau sisi kekanak-kanakan dalam diri seseorang. Pengalaman di masa lalu, pola pengasuhan orang tua, bisa memiliki efek destruktif ketika seseorang beranjak dewasa. Jika ada luka atau trauma pada inner child yang belum diselesaikan, otomatis akan mempengaruhinya di masa kini.
Dan beberapa waktu belakangan ini saya benar-benar merasakan jika ada banyak luka di masa lalu yang mempengaruhi inner child saya. Rasanya seperti berada di titik saat saya nggak bisa ke mana-mana nggak tahu apa yang saya mau, dan nggak yakin dengan tiap keputusan yang saya ambil.
Ada masa di mana saya sengaja pulang kantor lebih malam dari biasanya dan menangis sepanjang perjalanan pulang sambil mengendarai motor. Perjalanan pulang jadi terasa sangat menyedihkan, seperti ada perasaan jika saya nggak pernah benar-benar punya tempat untuk pulang. Ada masa di mana saya selalu merasa sesak dan menangis diam-diam setiap malam. Dan perasaan labil ini yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan dalam kepala saya, apakah sudah waktunya saya meminta bantuan profesional? Atau saya aja yang terlalu lebay bereaksi?

Lalu sambil berusaha menuliskan cerita ini demi menjadi postingan akhir tahun saya, satu per satu masalah kembali bermunculan. Seperti hidup yang dengan mudahnya bercanda. Berbagai perasaan campur aduk menjadi emosi yang begitu membuat saya kehabisan energi. Perasaan jatuh cinta, bahagia, bersalah, menyakiti, disakiti, semua campur aduk. Kalau bisa dilihat dengan kasat mata, mungkin hati saya sudah babak belur nggak ada bentuknya karena menampung banyak energi negatif.
Jadi yaaa… tahun ini sungguh berat. Saya cuma bisa berharap semoga masih punya kekuatan untuk mengurai satu per satu benang kusut yang semrawut dalam hidup saya. Semoga saya hati saya bisa semakin lapang untuk menerima kenyataan yang ada. Semoga saya tak pernah lelah untuk kembali memulai dari awal sekalipun sudah terlanjur jauh salah melangkah. Semoga diri ini lebih kuat dan berani untuk menyembuhkan satu per satu luka yang ada.
Ya, mungkin sekarang waktunya merawat diri sendiri. Di usia ke-28 tahun ini, sepertinya saya terlalu jahat pada diri sendiri karena sering melupakannya dan membiarkannya sakit sendiri.
Dan jika resolusi itu ada, mungkin waktunya saya bahagia sendiri. Cukup untuk diri saya sendiri dulu.
Featured Image:
Photo by @qq.anna