Pertanyaan itu udah mulai terngiang dalam pikiran saya sejak bulan puasa kemarin. Jadi ceritanya, puasa kemarin saya terserang batuk akut dari minggu awal puasa sampai malam takbiran tiba, nggak juga sembuh. Beberapa teman udah mengingatkan supaya segera berobat, karena batuknya yang sangat mengganggu. Tapi waktu itu saya keukeuh tetap bertahan dengan obat batuk yang dibeli di apotek, dengan pertimbangan baru juga obatnya diminum beberapa kali. Nggak bakal langsung sembuh secara instan gitu lah. Nggak sadar, sampai obatnya habis sebotol, batuk saya masih belum sembuh juga. Bandel banget.
Dan tahu nggak, batuknya baru bener-bener sembuh setelah Lebaran. Waktu saya udah bebas makan apa aja dan kegiatan sehari-hari mulai berkurang satu per satu. Kesimpulannya sih, batuknya itu tanda manja butuh istirahat. Tapi lama-lama saya pikir, saya kok kebangetan sih? Sama kesehatan sendiri aja cuek banget. Terus, kalau bukan saya sendiri yang sayang sama badan saya, lantas siapa dong?
Terus kalau dipikir lagi, nggak cuma sekali dua kali ini aja saya jahat sama badan sendiri. Malah cenderung nggak peduli sama kesehatan. Sekarang udah nggak pernah olahraga lagi, padahal dulu rutin pilates dan sepedahan. Terus belakangan juga terlalu sering makan mi instan lagi, padahal dulu udah sukses nggak makan mi instan selama beberapa bulan. Makin nggak memperhatikan tanda yang diberikan tubuh juga kalau pas lagi pusing atau capek. Padahal mungkin itu jadi salah satu cara yang diberikan tubuh buat berkomunikasi, menyampaikan kalau ada yang nggak beres sama diri kamu.
Puncaknya beberapa minggu ini, saya mulai kembali merasakan nyeri di bagian dada. Jadi, saya sebenarnya pasien poli jantung yang udah mangkir nggak pernah kontrol lagi lebih dari enam bulan. Beberapa minggu lalu mulai ngerasa dada semakin sakit, napas sesak dan serba nggak nyaman. Sebenernya itu bukan yang pertama, tapi seringnya gejalanya menghilang kalau udah saya tinggal tidur. Besoknya langsung berasa sehat lagi. Tapi kali ini sesaknya nggak hilang-hilang. Baru sedikit mereda kalau udah minum obat pereda nyeri punya adek. Iya, adek saya juga pasien poli jantung. Sebenernya sekeluarga di rumah pasien poli jantung sih.
Jadi ya gitu, berbekal pertanyaan yang sepertinya lebih mengarah pada pernyataan, “Kalau bukan saya yang sayang sama badan sendiri, terus siapa?”, akhirnya saya memutuskan buat melanjutkan pengobatan. Biarpun sebenarnya dateng ke rumah sakit, minum obat, dan sebagainya adalah hal nomor satu yang paling saya benci.
Dan tahu nggak, apa yang jadi dorongan terbesar saya buat berobat lagi? Pikiran kalau saya adalah calon ibu, dan seorang ibu harusnya sehat supaya bisa membesarkan anak-anak hebat jadi motivasi terbesar saya. Iya, tahu kok kalau pikirannya masih kejauhan. Belum juga nikah, udah mikir punya anak. Tapi bener kan, ibu itu sosok Wonder Woman dalam kehidupan nyata. Kalau calon ibunya aja sakit-sakitan, gimana bisa merawat suami dan anak-anaknya nanti?
Iya, besok cus ke dokter, mulai jaga makan, dan olahraga lagi.
Baca Juga Dong…
Balada Meminta Sim Card Baru di Grapari
Tentang Menuntaskan Rindu dan Dendam Jadi Satu
Kaleidoskop ‘Drama’ yang Jadi Cobaan Selama Berstatus Pejuang LDR