Tepat 2 bulan setelah resmi menikah, saya akhirnya positif juga. Bukan positif hamil, tapi positif Covid-19. Hidup di era pandemi memasuki tahun ke-3 ini sepertinya memang semua akan Covid pada waktunya. Biarpun sudah berusaha menjaga prokes, menahan diri buat jalan-jalan, ternyata tetap kena. Kalau saya duga sih, terpapar waktu nunggu Bapak di IGD RSSA.
Nggak ada gejala yang berarti, saya melakukan tes pun karena Bapak yang ternyata hasil PCR-nya positif dan harus masuk ruang perawatan Incovid. Masa-masa itu sungguh berat sih, bukan karena penyakitnya. Tapi meninggalkan Bapak di ruang perawatan Incovid tanpa ada yang menemani dengan kondisi stroke yang sudah nggak bisa apa-apa jelas bikin berat dan sedih. Muncul kekhawatiran kalau tiba-tiba kondisi memburuk dan nggak bisa bertemu lagi. Ya, hal-hal semacam itu yang bikin berat saat itu.
Untungnya 2 minggu berhasil berjalan dengan lancar. Masa-masa isoman selesai dan Bapak bisa pulang ke rumah. Alhamdulillah, bisa berkumpul lagi walaupun dengan kondisi yang jauh lebih menurun dari sebelumnya. Kalau sebelumnya Bapak masih bisa bangun, pindah ke kursi roda, bahkan ikut kontrol ke rumah sakit, sekarang sudah jauh lebih menurun lagi. Badannya kaku, literally hanya bisa di atas kasur. Dekubitus semakin parah di beberapa titik, dan banyak selang yang terpasang di tubuhnya: sonde, kateter, hingga selang oksigen.
Mungkin sekitar semingguan saya sempat pulang, durasi paling lama sejak saya menikah yang biasanya hanya 2-3 hari saja. Sambil menunggu, begitu pikir saya sih. Walau mungkin nggak berarti banyak karena sekarang Bapak pun lebih banyak tidur.
Tapi, ternyata cerita nggak cuma sampai di situ saja. Karena di momen saya pulang ke rumah sendiri, justru dalam kondisi demam, pusing dan sakit tenggorokan. Mirip gejala Covid yang lagi beredar. Tapi, masa iya saya Covid lagi cuma jeda 2 minggu setelah selesai isoman?
Di masa pandemi seperti sekarang ini, sakit apapun dikhawatirkan jadi Covid. Itu yang saya rasakan juga. Setelah berobat ke dokter, diagnosis sementaranya ISPA. Saya sendiri terakhir kena ISPA sekitar 2020 lalu, setelah pulang dari outing di Yogyakarta bareng teman sekantor. Ya, gejalanya memang sama sih yang saya rasakan.
Tapi anehnya, minum obat pun nggak ada perubahan. Hanya demam yang turun, tapi tenggorokan tetap sakit bukan main. Amandel bengkak kalau saya amati. Muncul juga batuk kering dan entah tiba-tiba jadi batuk berdahak. Nah, batuk ini yang benar-benar menyiksa karena bikin saya nggak bisa tidur, mengganggu aktivitas sehari-hari, sampai bikin badan lemas.
Saya pikir, inilah momen sakit yang paling berat setelah sekian lama saya belum pernah sakit lagi selama 2 tahun terakhir. Bukan malah saat Covid, tapi justru sakit pasca Covid yang bikin badan benar-benar remuk dan nggak bisa melakukan apapun. Selama beberapa hari sakit rumah benar-benar berantakan. Bawa badan sendiri saja sudah susah, kok masih mikir rumah. Belum lagi kondisi sendirian karena suami masih belum jadwalnya pulang, di mana saya harus benar-benar merawat diri sendiri. Rasanya berat banget.
Dan benar ya kalau saat sakit kamu bisa jadi lebih sensitif dari sebelumnya. Di tengah kondisi sendirian dan nggak berdaya itu, saya tiba-tiba kangen masa kecil. Dulu, kalau sakit ada almarhumah Eyang yang selalu tanya mau makan apa, suapin saya yang lagi susah makan, sediain jajan pasar buat camilan biar cepat sembuh. Eyang jadi orang pertama yang selalu cemas kalau sakitnya nggak sembuh-sembuh dan nganter berobat lagi ke Puskesmas naik becak.
Bapak waktu masih sehat juga gitu. Dulu kalau saya sakit yang rajin telepon di sela waktu kerja sekadar tanya kondisi saya gimana. Dulu juga pernah malam-malam nganter cari dokter dan berujung ternyata harus operasi usus buntu. Rasanya baru kemarin, tapi ternyata hal-hal itu sudah lama berlalu.
Jadi, siapa bilang jadi dewasa itu menyenangkan? Jadi dewasa itu adalah saat kamu harus bertanggung jawab kepada dirimu sendiri secara penuh. Dan percayalah, saat orang-orang yang dulu selalu ada buatmu sudah nggak ada lagi di hidupmu atau berada dalam kondisi yang sudah nggak memungkinkan lagi, rasanya hanya kesepian.