Mau Jadi Penulis Seperti Apa Sih Kamu?

Mau Jadi Penulis Seperti Apa Sih Kamu?
Spread the love

Pertanyaan tersebut lagi berputar dalam kepala saya belakangan ini. Dalam tempo waktu beberapa bulan kemarin, blog saya memang nyaris nggak pernah tersentuh. Nggak ada ide mau nulis apa, terus rasanya bosan banget tiap ketemu laptop. Kalau udah sampai rumah, bawaannya selalu pengen refreshing, which is means nonton drama.

Lalu tiba saatnya tagihan hosting masuk email. Dengan jumlah yang nggak sedikit, saya jadi banyak bertanya, itu blog mau didiemin gitu aja? Keinginan menulis itu selalu ada, tapi nggak diimbangi dengan niat dan ide yang bisa disalurkan. Dari situ saya mulai sadar apa yang selama ini bikin saya stuck. Malas membaca dan terlalu banyak nonton drama. Kalau nggak ada yang dibaca, apa yang bisa ditulis?

Lalu libur Lebaran itu tiba, di mana ada jeda selama beberapa hari saya nggak megang laptop sama sekali karena pulang kampung. Nggak nyangka, selama momen jeda ini justru ada banyak ide yang mengalir dalam kepala saya. Ada banyak yang ingin ditulis. Saking banyaknya, saya sampai kepayahan sendiri saat berusaha mengorganisir ide tersebut supaya lebih rapi. Akhirnya, saya mulai bikin semacam personal project yang tujuannya mendorong agar saya bisa terus menulis secara berkesinambungan. Jadi, personal project yang lagi saya gagas ini adalah bikin cerita bersambung.

Sebenarnya nggak ada bedanya dengan bikin potongan-potongan cerita sendiri yang disimpan sendiri, seperti yang selama ini sering saya lakukan. Tapi, ternyata ada banyak potongan cerita nggak selesai yang tersimpan terlalu rapi dalam laptop, sampai saya saja sudah lupa apa premis awal yang pernah saya buat. Ya, harusnya memang bikin kerangka dulu sih sebelum nulis, supaya punya catatan ide. Tapi, saya termasuk tipe penulis spontan, yang begitu sudah berpikir kalimat pertama, maka harus dieksekusi saat itu juga atau ide itu hilang selamanya.

Cerita bersambung ini bakal tetap diposting di blog, meskipun belum selesai. Seenggaknya buat jadi pengingat kalau ada tulisan yang belum rampung di blog, biar saya lebih punya tanggung jawab gitu. Jadi, proyek cerita bersambung itu pun dimulai dari sebuah potongan cerita yang saya tulis di kantor waktu lagi gabut yang bisa dibaca di sini.

Satu fragmen cerita berhasil dibuat. Tapi, setelah itu saya mulai bingung mau dibawa ke mana cerita selanjutnya. Ide-ide berkembang dengan liar. Dari yang awalnya hanya ingin membuat 3 bagian cerita, lalu saya mulai serakah dengan keinginan menulis sepanjang-panjangnya sampai bosan. Tapi kemudian saya sadar, keserakahan bukan hal yang bagus buat seorang penulis. Harus tetap punya tujuan yang fix dulu baru bisa tahu gimana alur selanjutnya.

PR paling besar yang harus dilakukan adalah membaca. Tapi kesulitan selanjutnya adalah mencari buku apa yang seharusnya saya baca untuk mendukung proyek ini. Riset tentang perbukuan di internet membawa saya pada blog Eka Kurniawan. Jam gabut di kantor pun saya pakai buat melahap beberapa postingan teratas di blognya.

Saya selalu suka dengan Eka. Bahkan postingan blognya aja nggak ada yang receh. Wawasan bukunya memang luas banget, sampai sastra dari negara lain disikat habis olehnya. Dari situ saya sadar, buku yang kamu baca akan menjadi penentu utama soal tulisan yang akan dihasilkan. Nah, mau jadi penulis seperti apa sih kamu sekarang?

Ini pertanyaan sulit. Berkaca dari cerita-cerita yang sudah berhasil saya buat, semuanya nggak lepas dari tema-tema patah hati dan depresi. Entah kenapa saya selalu menikmati menulis tema seperti itu. Mungkin semacam curhat colongan juga sih ya, lol. Jelas beda jauh dari tulisan-tulisan Eka yang bahkan digadang-gadang sebagai The Next Pramudya Ananta Toer. Eka termasuk salah satu penulis yang bisa memotret permasalah sosial dan budaya dengan tajam. Sementara cerita saya sama sekali nggak mengangkat isu apapun kecuali cinta dan patah hati.

Nggak usah soal cerpen atau sastra deh. Kadang aja saya suka minder kok kalau melihat postingan blog yang ternyata nggak seinformatif dan sekritis penulis-penulis Tirto atau Mojok. Terus buat apa nulis kalau nggak berguna buat orang lain ya?

Tapi lama-lama saya mikir, siapa bilang nggak berguna. Menulis bisa jadi self therapy waktu saya butuh bercerita saat nggak punya teman kok. Lagian, setiap penulis juga punya gayanya masing-masing. Dan menulis itu sebuah proses yang terus berkembang. Asal rutin dilakukan, lama-lama kemampuan menangkap fenomenanya juga bisa semakin canggih.

Lalu, mau jadi penulis seperti apa sih saya ini? Penulis yang bahagia dengan tulisannya, mampu menuangkan ide dengan gamblang tanpa perlu ada yang dibredel. Menjadi penulis yang merdeka. Tapi yang lebih penting, saya mau jadi penulis yang bisa mengapresiasi karyanya sendiri.

Jadi, kapan cerita bersambung part 2 akan diposting? Entahlah, masih belum ada ide…

Baca Juga Dong:

Mencari Identitas, Antara Ambisi Dan Mawas Diri

Demi Hari Tua Yang Damai, Saatnya Perencanaan Keuangan Dimulai

Meneruskan Studi, Kebutuhan Akademisi Atau Sekadar Gengsi?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *