02.00 WIB. Beberapa bulan lalu saya sangat familiar dengan keterangan waktu tersebut, karena masih terjaga di jam segitu. Entah itu sebelumnya sempat tidur, lalu terbangun di jam 2 dini hari dan nggak bisa tertidur lagi. Atau malah belum bisa tidur sama sekali. Insomnia itu wajar, pikir saya waktu itu. Mungkin karena siklus tidurnya saja yang lagi nggak teratur, nanti juga ada masanya saya bisa kembali tidur seperti kebo. Tapi setelah beberapa waktu berlangsung dan nggak pergi juga, saya mulai cemas. Rasanya makin stres mikir kenapa nggak bisa tidur, yang malah semakin membuat nggak bisa tidur gitu.
Saya mulai sadar kalau mungkin lagi mengalami kondisi stres berat tanpa tahu apa penyebabnya. Mungkin tahu, tapi masih malu buat mengaku. Malu, karena selama ini saya merasa selalu hidup dengan positif dan masa bodoh dengan hal-hal yang nggak sesuai dengan apa yang saya mau. Nggak mau pusing-pusing mikir apa kata orang, benar atau salah, selama saya suka dan bahagia, saya percaya kalau memang begitulah seharusnya. Hingga tiba di satu titik di mana saya sadar kalau saya sudah terlalu dewasa buat masa bodoh dengan apa yang seharusnya saya pedulikan. Jadi dengan mulai mengumpulkan niat, selangkah demi selangkah saya mulai berubah, meninggalkan apa yang ‘seharusnya’ nggak saya lakukan atas nama perubahan. Ternyata, berubah seperti itu bisa bikin saya stres setengah mati.
Setelah benar-benar sadar kalau saya mungkin sedang stres berat, saya mulai googling mencari cara untuk self healing yang sederhana tapi efektif. Karena rasanya seperti sudah kehilangan cara. Kalau biasanya bisa curhat dengan menulis, saat itu rasanya sudah kadung jengah dan malas. Lihat laptop di rumah saja seperti sudah ingin teriak. Baca buku, nonton drama, jalan-jalan sendiri, makan, hanya bisa bikin lupa sementara. Lalu dari situ saya akhirnya berkenalan dengan metode stress relieving yang baru, olahraga.
Kebetulan saat itu saya juga sudah ada niat untuk kembali olahraga karena alasan kesehatan. Di postingan sebelumnya saya sudah cerita, saya punya kelainan jantung yang nggak bisa sembuh. Tapi bisa dijaga kondisinya dengan olahraga. Waktu itu sempat ada niat kembali ke kelas pilates tiap minggu, tapi tiba-tiba ingin merasakan olahraga lain yang lebih menguras energi sampai saya benar-benar capek dan nggak ada waktu untuk mikir hal-hal yang bikin stres. Dari situlah saya memantapkan diri buat jogging.
FYI, saya bukan pecinta olahraga dan paling nggak suka dengan kegiatan outdoor fisik. Apalagi lari, olahraga yang paling saya benci sejak sekolah karena merasa nggak pernah kuat lari dan bikin badan selalu sakit-sakitan tiap ada tes lari. Sebegitu nggak cintanya saya terhadap aktivitas fisik yang satu ini bikin saya semakin tertantang buat melakukannya. Berawal dari lari seminggu sekali di car free day tiap hari Minggu dengan setengah hati, ternyata lama-lama saya malah jatuh hati. Dosis lari pun saya tingkatkan menjadi 3-4 kali seminggu, dengan mencuri waktu usai kerja.

Lari, nggak hanya membuat saya bisa berlari secara literal, tapi juga membuat saya bisa sedikit berlari dari kenyataan yang membuat saya stres seperti zombie. Sensasi endorfinnya ternyata secara ajaib bisa bikin saya merasa lebih sehat jiwa dan raga. Nggak cuma rasa sesak di dada karena kelainan jantung yang mulai berkurang, tapi juga bikin pikiran saya lebih jernih. Sebulan pertama rutin lari, saya langsung bisa kembali tidur dengan nyenyak, makan lebih banyak, dan yang pasti bisa menerima kenyataan dengan lebih baik.
Dari segi fisik, selalu ada tantangan baru setiap kali saya berlari. Jika awalnya setiap beberapa meter berlari, saya sudah berhenti sambil terengah-engah, perlahan tapi pasti saya sudah mulai bisa melampaui target yang dibuat. Sekarang, limit saya berlari adalah melakukan 2,5 kali putaran lapangan Rampal tanpa jeda, atau sekitar 1,5 km. Itu jika kondisi saya sedang prima. Kalau pun nggak, saya tetap punya target 2 putaran tanpa jeda. Jumlah putaran ini sendiri memang cukup lama bertambahnya. Mungkin setelah 3 bulan baru bisa naik di angka segitu. Tapi nggak masalah, buat saya yang penting adalah kontinuitasnya.
Dari segi mental, lari saya lebih jauh dari itu. Sambil berlari, saya berusaha membuat pikiran jadi lebih jernih, membuang hal-hal negatif yang membebani, berusaha kembali lebih waras. Sambil berusaha mencapai target berapa kilometer yang ingin dicapai, saya juga berusaha kembali on track pada hal apa yang ‘seharusnya’ saya lakukan, dan melupakan hal-hal lain yang ‘nggak seharusnya’ saya pikirkan.

Lalu, apakah saya berhasil? Ya, berhasil. Dan saya harus memberikan apresiasi yang tinggi buat diri saya yang sekarang bisa menaklukkan tantangan lari, bahkan jadi kecanduan. Tapi, cerita nggak berakhir sampai di situ.
Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk menguji kesungguhan seseorang dalam memutuskan sesuatu. Seperti saya yang memutuskan untuk melakukan ‘perubahan’ dan fokus pada sesuatu, tapi di tengah jalan justru hal yang ingin saya fokuskan perlahan-lahan jadi sesuatu yang terasa asing. Fokus itu perlahan hilang, saya bahkan mulai merindukan hal-hal yang sudah saya putuskan untuk tinggalkan. Tantangan banget, kan? Tapi, saya kira memang seperti itulah cara kerja realita dalam kehidupan.
Di titik ini, saya masih belum tahu bagaimana cara mengatasinya. Tapi mungkin semuanya kembali diawali dengan mengaku, berbicara, dan mencari cara untuk kembali berbenah secara perlahan. Atau mungkin lepaskan saja semua hal yang bikin stres dan biarkan semesta bekerja. Seperti kata Kunto Aji dalam lagu Rehat-nya yang belakangan jadi mantra andalan saya kalau lagi penat.
Baca Juga Dong:
Jadi Cewek yang Gampang Tergoda Smartphone Impian Itu Berat, Gaes!
Setujuuu….
Dulu aku akhirnya mulai jogging juga justru karena lagi stress. Ternyata eh ternyata, jogging perlahan bisa ngurangin stressku dan bikin tidur jadi enak banget. Akhirnya sempet ketagihan jogging. 😄
naahh kan benerr, lama2 ketagihan hahaha