Kita punya versi kebahagiaan masing-masing, jadi kenapa harus membandingkan dengan bahagia versi orang lain?
Tiga bulan pertama di tahun 2018, cukup banyak teman kantor saya yang resign. Mungkin karena tahun baru memang momen yang pas buat ganti kartu nama. Fenomena resign ini sempat saya jadikan topik obrolan dengan seorang teman yang sering saya ajak chat random kalau di kantor. Di awali dari sebuah kalimat, “Banyak yang resign, kamu kapan?” lalu cukup random untuk mengalir ke hal-hal yang lain. Termasuk spekulasi kami tentang alasan kenapa mereka resign.
Pada akhirnya obrolan ini bermuara pada satu kesimpulan yang membuat kami saling sepakat. Pencapaian personal. Mungkin itu salah satu alasannya. Kantor yang fleksibel, teman-teman yang nyaman, nggak melulu bikin orang bisa stay dalam waktu yang lama. Tapi, soal gaji juga nggak melulu bikin orang akhirnya memutuskan resign. Ada juga kok, yang resign dengan alasan paling sederhana: mau ngerasain kerja di luar Malang.
Alasan receh seperti itu juga pernah kok saya miliki. Dari zaman kuliah, saya punya cita-cita kerja sejauh mungkin dari rumah. Jadi saat itu fokus mencari kerjanya pun yang ada persyaratan “bersedia ditempatkan di mana saja”. Ternyata, saya malah diterima di kantor yang paling dekat, cuma 10 menit dari rumah saat itu. 30 menit sih sekarang, karena rumah saya sudah pindah.
Dan nggak terasa, sekarang sudah hampir 4 tahun saya kerja di kantor saya sekarang. Nggak niat pindah? Ada lah. Tahun pertama saya masih rajin tes di sana-sini. Sampai sekarang juga masih suka iseng-iseng nyari kerja lain. Tapi, kali ini dengan alasan yang lebih serius. Alasan yang berhubungan dengan rencana hidup saya ke depannya.

Ngomong-ngomong soal pencapaian personal, kadang saya bertanya-tanya juga sih apa yang sudah saya capai selama ini. Di usia saya yang sudah hampir 27 tahun. Usia yang rawan diberondong pertanyaan dengan jawaban sulit. Bukan pertanyaannya yang sulit saya jawab, tapi jawaban saya yang saya nggak yakin juga mereka semua paham. Nggak berharap mereka paham juga sih.
Mungkin kamu mengerti arah bahasan saya kali ini. Apalagi kalau bukan pertanyaan “kapan nikah” yang fenomenal itu.
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang teman lama yang bertanya “kapan sah?” begitu saja di media sosial. Out of the blue. Padahal, kami saja sudah lama nggak ketemu. Ngobrol basa-basi juga nggak pernah. It’s okay, saya sudah terbiasa, pikir saya waktu itu. Tapi yang bikin shock ternyata bagaimana dia bereaksi dengan jawaban yang saya berikan.
Saya jawab pertanyaannya dengan jawaban paling jujur yang pernah saya punya, kalau saya masih enjoy dengan hidup saya yang masih single begini. FYI, dia sudah menikah sejak kuliah dan sudah punya beberapa orang anak. Keluarga mereka memang terlihat bahagia, dari perspektif medsos. Dan tahu nggak gimana reaksinya atas jawaban saya? “Semoga diberi hidayah untuk segera menikah agar ibadahnya semakin sempurna.” Entah kenapa, saat itu saya merasa shock. Dan kecewa sih. Hahaha.
Saya tahu kok kalau menikah itu ibadah. Iya, mungkin orang-orang melihat saya ini aneh. Sudah bekerja, 9 tahun pacaran, tapi nggak nikah-nikah. Nunggu apa sih? Tapi saya selalu menganggap kalau menikah itu pilihan. And for some certain reasons, saya memilih untuk belum mengambil pilihan itu. Salah?

Sepanjang yang pernah saya ingat, menikah muda bukan termasuk dalam daftar pencapaian personal yang sudah saya rancang saat masih sekolah. Menikah muda ini dalam artian menikah di usia 20-25 tahun. Bahkan yang dulu pernah saya bayangkan, usia 27 tahun ini adalah golden age, di mana saya lagi asyik dengan karier dan masih single. Ya, biarpun saat hampir menginjak usia 27 tahun yang sebenarnya, apa yang saya lakukan ternyata jauh dari yang ada dalam bayangan saat sekolah dulu.
Jadi, kalau ada yang menganggap saya gagal atau nggak bahagia karena belum menikah di usia 27 tahun ini, saya malah merasa sebaliknya. Tahu nggak sih, the greatest feeling yang saya rasakan memasuki 2018 ini justru saya sangat bersyukur karena masih single? Aneh? Ya terserah kamu aja sih ngelihatnya gimana.
Dan memang benar juga kalau menikah itu menjadi bagian dari menyempurnakan ibadah. Ada juga yang beralasan menikah untuk menghindari zina. Memang seperti itu yang diajarkan agama dan saya sangat mengapresiasi kamu yang memegang teguh prinsip tersebut.
Tapi, saya juga percaya kalau ada banyak cara yang diajarkan agama untuk menyempurnakan ibadahnya. Bagaimana dengan para perempuan single lainnya yang memilih untuk tidak menikah dulu karena memiliki tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarganya? Apa iya yang dilakukannya itu bukan bagian dari menyempurnakan ibadah juga? “Tapi kan menikah juga membuka pintu rejeki, nanti Tuhan pasti akan membantu”. Iya memang pasti Tuhan yang mengatur, tapi terburu-buru menikah tanpa perencanaan yang matang hanya karena takut di-judge perawan tua juga sama aja bunuh diri kali.

Jadi, satu hal yang perlu kamu pahami juga, wahai teman-teman perempuan tersayang. Yang namanya pencapaian personal antara satu orang dengan yang lain itu beda. Jadi jangan digeneralisir. Kalau kamu merasa bangga karena sudah menikah sejak muda dan punya keluarga bahagia, jangan dipikir kalau temanmu yang umurnya hampir kepala 3 dan single itu nggak bahagia dengan hidupnya. Kita punya versi kebahagiaan masing-masing, jadi kenapa harus membandingkan dengan bahagia versi orang lain? Cukup berhenti men-judge kami yang punya pilihan dan jalan hidup berbeda. Lebih baik fokus pada pilihan dan jalan hidup kamu sendiri, kan?
Menikah memang menambah kadar kebahagiaan hidup, pastilah. Tapi, jangan memandang kalau pernikahan adalah standar kebahagiaan seorang perempuan. Jangan menggantungkan kebahagiaanmu di sana, karena kamu berhak tetap menjadi individu yang merdeka dengan kebahagiaan sebagai dirimu sendiri, tanpa ada embel-embel status lain.
Eits, tapi jangan salah. Punya pandangan seperti ini bukan berarti saya nggak mau menikah. Rencana itu selalu ada, dan semoga bisa segera terlaksana. Aamiin.
Oh ya, Selamat Hari Perempuan Internasional! Mari menjadi individu perempuan yang bahagia secara merdeka dengan pilihan hidupnya masing-masing 😉
Setuju banget!
Nikah bukan kek lomba lari ya, cepet-cepetan :))
Ntar kalo udah banyak setrikaan sama ngurus anak, ngeluh.
Harus tuntas dulu apa yang belum tuntas.
Happy International Days!
Aku dulu juga sempat minder mbak, usia 27 tahun masih gagal aja nemuin jodoh. Udah pasrah eh taunya datang cepat tak disangka-sangka teman SMA dulu. Sekarang jadi belajar, senyum aja kepada orang yang ‘nembak’ pertanyaan itu-itu melulu, masih ada Allah yang selalu menghibur dengan kejutan indahnya