Banyak yang terjadi selama 3 bulan belakangan ini. Bapak terkena stroke yang membuatnya kehilangan hampir 90% kemampuan sehari-hari. Yang artinya sekarang Bapak hanya bisa di tempat tidur saja dan membutuhkan orang lain untuk melakukan apa saja.
Awalnya sekeluarga memang shock. Bapak yang semasa sehatnya adalah orang yang aktif, tiba-tiba melihatnya cuma bisa terbaring di kasur pasti bikin hati ini rasanya ngenes. Belum lagi kemampuan otak yang berkurang bikin Bapak seolah jadi anak kecil lagi, dalam beberapa momen. 3 bulan ini tentu saja fokus dan pikiran saya tertuju ke pengobatan Bapak dan apa yang bisa saya lakukan agar kondisinya membaik.
Yang akhirnya lama-lama membuat saya sadar kalau stroke adalah sebuah kondisi yang sangat panjang dan melelahkan. Nggak hanya buat si pasien, tapi juga keluarganya. Nggak ada yang namanya ‘sembuh’. Berada dalam kondisi ‘stabil’ saja sudah jadi sesuatu yang harus disyukuri, yang artinya nggak mengalami perburukan. Begitu sih kalau menurut wejangan Papa, ayahnya Mas Partner yang sudah 6 tahun mengalami stroke.
Setelah 3 bulan berlalu akhirnya saya bisa mulai mengorganisir pikiran dan mulai memperhatikan hal-hal lain. Aspek hidup saya yang lain, yang selama 3 bulan belakangan ini terabaikan. Salah satunya adalah rumah yang menunggu untuk ditempati dan sudah 3 bulan ini nggak pernah ditengok lagi.
Beberapa teman mungkin sudah tahu saya mulai menyewa sebuah rumah yang rencananya akan ditempati setelah menikah. Sampai sekarang saya memang belum tinggal menetap di situ, sehingga belum bisa memberikan 100% waktu saya untuk merawatnya. Hingga pada satu titik tertentu, saya merasa bersalah.
Gara-gara nonton drama Korea Monthly Magazine Home, saya jadi lebih disadarkan pentingnya untuk mulai lebih memperhatikan rumah ini. Bagaimana pun kondisinya, ini adalah rumah pertama yang berhasil dimiliki bersama pasangan. Sesuatu yang nantinya akan menjadi tempat untuk menunggunya pulang. Tempat kami pulang. Bukan sekadar untuk tidur dan istirahat saja, tapi menjadi wadah penampung kehidupan di mana kami bisa menghabiskan waktu dan berkembang bersama.
Dari drama ini juga saya baru sadar, baru bisa memahami karakteristik rumah jika sudah tinggal di sana. Bukan sekadar tidur saja, tapi benar-benar ‘tinggal’ di dalamnya. Dengan begitu, kamu bisa memahami seperti apa karakter rumah tersebut sehingga bisa lebih paham bagaimana cara menghidupkannya. Sungguh sebuah pencerahan buat saya yang selama ini masih banyak mengabaikan rumah ini.
Dan akhirnya saya pun memutuskan untuk pulang. Biarpun belum bisa menetap seutuhnya karena satu dan beberapa hal. Sambil menikmati momen-momen hanya bersama diri saya sendiri yang buat saya adalah hal yang langka. Quality time seperti ini yang dulu cuma bisa dirasakan saat staycation. Sekarang cukup dengan pulang ke rumah, bisa melakukan banyak hal untuk diri saya sendiri.
Rumah ini sebenarnya masih belum terlalu berisi. Hanya ada tempat tidur, PC kantor untuk bekerja, dan beberapa peralatan dapur yang sangat jauh dari kata lengkap. Rasanya benar-benar sepi memang, sampai-sampai saya bisa mendengar obrolan tetangga sebelah sampai ke rumah. Atau canda tawa anak-anak yang mengisi rumah di depan. Sambil saya membayangkan suatu saat nanti keceriaan yang sama pasti akan mengisi rumah ini juga. Ya, semoga dilancarkan.