Remaining Time

Remaining Time
Spread the love

Kira-kira 6 hari lagi tepat 40 hari berpulangnya Bapak. Semakin ke sini, rasanya semakin kangen sama Bapak waktu masih dalam keadaan sehat dulu. Sering juga sebelum tidur tiba-tiba ingat masa-masa Bapak sakit dan berbagai perubahannya selama setahun itu. Dari yang awalnya nggak banyak permintaan, lalu mulai rewel, dan tiba-tiba sudah nggak bisa diajak komunikasi lagi. Setahun itu rasanya cepet banget.

Keluarga kami sebenarnya bukan tipe keluarga yang hangat di dalam rumah. Saya sendiri punya hubungan yang bisa dibilang nggak pernah dekat dan akrab dengan Bapak. Sering juga berselisih karena sifat saya yang keras, yang kalau menurut saya sendiri sih nggak jauh beda dari sifat Bapak. Sama-sama nggak mau ngalah.

Pernah di suatu masa dulu, kami adalah sebuah keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Tinggal di sebuah perumahan terpencil di kota Serang yang sepi dan jauh dari mana-mana. Serang bukan kota pertama dalam memori masa kecil saya, karena sebelumnya kami pernah merasakan metropolitannya Tangerang yang bertetangga dengan Jakarta. Setelah tragedi 98, kami pindah karena suatu alasan yang tentu saja nggak ada kaitannya dengan tragedi tersebut.

Saat itu, Bapak masih tinggal dengan kelima anaknya. Lengkap. Tapi, kami nggak pernah mengobrol di rumah. Mirip lah dengan drama Korea macem UNFAMILIAR FAMILY atau MY LIBERATION NOTES, tapi dengan konflik yang beda. Keluarga yang tinggal bersama tidak saling mengenal satu sama lain, merasa frustasi satu sama lain.

Lalu kami pindah ke Malang. Tidak semua keluarga ikut pindah, karena Bapak hanya mengajak 3 anak perempuannya yang masih usia sekolah. Dua kakak saya dianggap sudah dewasa untuk memilih jalannya sendiri. Yang satu masih kuliah, yang satu sudah bekerja walaupun serabutan. Mulai dari sini, keluarga kami mulai menyusut, tidak seramai dulu.

Kira-kira 15 tahun menetap di Malang, kami selalu berpindah tempat tinggal. Karena tidak punya rumah. Bapak mengajak kami pindah ke sini memang awalnya hanya bermodal tinggal di rumah kontrakan. Dengan harapan suatu saat bisa beli rumah, tentunya. Tapi tahun demi tahun berlalu, usia Bapak pun semakin menua, sempat menganggur selama bertahun-tahun juga karena menunggu proyek yang nggak kunjung jalan, impian punya rumah sendiri lama-lama hanya jadi mimpi saja.

Dulu saat menjalaninya mungkin biasa-biasa saja. Tapi kalau sekarang diingat-ingat lagi, banyak hal sederhana yang ternyata jadi kenangan berharga. Rumah Sebuku menjadi tempat tinggal terlama kami, 9 tahun. Di situ banyak momen menyenangkan karena keluarga kami masih lengkap. Bapak masih sehat. Eyang masih ada dan sehat, sering jalan-jalan pagi ke Sulfat dan pulang dengan membawa jajanan buat cucunya.

Setelah Eyang berpulang, kami pun harus berpisah dengan rumah itu. Hingga akhirnya nasib membawa kami pindah dari satu gang ke gang lain di Gadang. Tapi yang paling menyenangkan adalah saat masih di Gadang Gang 21. Cuma setahun, tapi jadi momen paling membahagiakan kalau diingat-ingat sekarang.

Waktu itu Bapak masih sehat. Kami tinggal bersama Dinda dan ada Exo, cucu Bapak yang bikin rumah makin ramai. Biarpun kami bukan keluarga yang hangat, tapi kehadiran Exo ampuh mencairkan suasana. Suara tawa sering terdengar di sana yang membuat berada di rumah jadi begitu menyenangkan.

Di momen itu juga pas banget dengan masa awal pandemi, sehingga saya harus menjalani Work From Home. Biarpun awalnya sempat berat harus WFH karena nggak biasa kerja mobile, tapi ternyata semacam blessing in disguise juga. Saya jadi punya waktu lebih banyak di rumah, terlebih di masa itu juga ada PPKM yang bikin orang-orang di rumah nggak bisa ke mana-mana. Semuanya berkumpul. Semuanya saling mengobrol, bercerita, dan bercanda di rumah.

Dan… kalau saja hidup punya semacam notifikasi remaining time, seperti notifikasi remaining battery di smartphone, saya pasti akan berusaha untuk lebih embrace setiap momen tersebut. Dari situ saya belajar banyak, ternyata biarpun keluarga kita nggak seharmonis keluarga orang lain, nggak pernah ngobrol, banyak pertentangan, rasa sedih saat kehilangan tetap begitu mendalam.

Sekarang banyak hal yang saya sesali kenapa dulu nggak dilakukan. Yah, sesederhana pergi sekeluarga makan di luar atau foto keluarga yang proper saja nggak pernah dilakukan. Sekarang baru sadar kalau setiap momen itu berharga.

Jadi… yaa… karena hidup nggak punya sistem notifikasi remaining time, belajarlah menghargai semua momen di hidupmu. Terutama yang menyangkut keluarga, terlebih orang tua. Banyak hal yang belum pernah saya lakukan buat Bapak, dan itu rasanya mungkin akan menimbulkan rasa sedih berkepanjangan entah sampai kapan. Sekarang hanya bisa berdoa untuk beliau dan menghargai yang masih dimiliki. Karena hidup, siapa yang tahu?

Al-Fatihah buat Bapak…

2 thoughts on “Remaining Time

  1. Hai mbak Wuri. Aku nyasar sampe ke blog ini. Aku juga punya blog tapi aku kayak malu sama isinya yang random karena cuman nulis keseharianku aja..
    Ternyata blogmu juga random, tapi isinya keren bgt. Mungkin karena ditulis pake hati, jadi feelnya hangat dan menyenangkan buat dibaca!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *