Sebenarnya, Mereka yang Nggak Peka atau Kita yang Terlalu Baper Sih?

Sebenarnya, Mereka yang Nggak Peka atau Kita yang Terlalu Baper Sih?
Spread the love

Gimana Lebarannya? Masih dapet pertanyaan “kapan” yang terasa menohok itu? Sepertinya masih ya, soalnya timeline medsos masih ramai sama curhat soal “kapan” yang bikin baper jagad netizen.

Saya juga termasuk yang langganan dapet pertanyaan semacam itu. Saat Lebaran hari pertama kemarin, saya dan pacar saling telepon. Lalu, mama menyodorkan telepon dari salah satu tante saya, maksudnya nyuruh saya halal bihalal via telepon. Usai mengucapkan salam lebaran dan saling minta maaf, si tante langsung bertanya “Wuri kapan? Kok sampai sekarang belum ada kabarnya?” which is means, kapan ini merujuk pada kapan rabi tentu saja.

Usai telepon dengan sang tante dan kembali melanjutkan telepon dengan Mas Pacar, si pacar malah ngetawain saya. Dia mendengar A-Z percakapan saya di telepon dengan si tante, karena saat itu telepon di-loudspeaker sementara telepon dari pacar nggak saya matikan. Si pacar tertawa karena memang hal-hal semacam ini sudah jadi jokes buat kami. Kami sama-sama sepakat kalau pertanyaan tersebut sebenarnya bentuk perhatian yang diberikan saudara, orang yang dituakan di keluarga, kepada anggota keluarga yang lain. Basa-basi yang memang sudah mendarah daging dari generasi tua. Sayangnya, zaman sudah berubah. Pertanyaan semacam ini cukup sensitif juga buat para millennial.

Pertanyaan “kapan” sampai saat ini masih dianggap sebagai list basa-basi yang diangap relevan bagi generasi tua, karena memang lumrah ditanyakan di masa mereka dulu. Yang masih sekolah ditanya sudah kelas berapa, yang masih kuliah pasti ditanya kapan lulus. Nyesek sih memang bagi yang kuliahnya nggak lulus-lulus. Tapi, bukan berarti keluarga besar nggak berhak bertanya. Saya inget banget zaman kuliah dulu, waktu skripsi nggak kelar-kelar, sering banget ditanya kapan lulus. Yang paling sering tanya adalah saudara yang sering disambati orang tua saya kalau masa bayar SPP tiba. Mereka yang punya andil bayar SPP saya juga, gitu maksudnya. Ya jelas sih hobi tanya kapan lulus, mungkin sebagai ‘motivasi’ biar saya cepat lulus dan nggak ngerepoti orang tua lagi.

Waktu sudah lulus kuliah, pertanyaannya jadi naik level ke kapan nikah. Apalagi kalau saudara yang bertanya itu sudah tahu kalau saya sudah 9 tahun pacaran dan sudah dilangkahi oleh adik, pasti semangat bertanya yang dimiliki makin berapi-api. Seolah berdosa kalau cewek 27 tahun yang sudah 9 tahun pacaran dan sudah dilangkahi sama adiknya nggak kunjung menikah juga.

Belakangan saya mikir, pertanyaan semacam ini yang sudah membudaya memang nggak akan pernah hilang dari peradaban generasi tua. Karena memang itulah pertanyaan paling gampang buat mengawali basa-basi. Kalau pun mereka nyerempet tanya kerjaan pun, sekarang banyak profesi millennial yang nggak dipahami generasi tua. Programmer, graphic designer, social media specialist, SEO specialist, content writer, nggak ada dalam kamus profesi mereka. Kerjaan yang mereka pahami ya sebatas PNS, pegawai bank, pegawai BUMN, dokter, polisi, dan sebagainya. Kalau pun mereka ada effort untuk bertanya lebih jauh tentang profesi millennial tersebut, ujung-ujungnya nggak paham juga. Akhirnya jalan paling gampang buat membangun percakapan ya balik lagi ke pertanyaan “kapan” itu.

“Kerja di mana sekarang?”

“Kapanlagi.com itu apa?”

“Oalaahh, warnet maksudnya?”

*lalu hening

Yaa, begitulah, perbedaan generasi memang kasih banyak perbedaan soal do’s and don’ts pertanyaan basa-basi saat Lebaran tiba. Dan satu hal yang perlu dipahami juga, kita nggak bisa mengubah kebiasaan yang sudah membudaya tersebut. Jadi, setiap tahunnya pasti akan mengalami masalah yang sama, curhatan yang sama, kekesalan yang sama. Saran saya sih, kuatkan mentalmu di Lebaran berikutnya dan latih skill mengalihkan pembicaraan yang lihai biar nggak terlalu lama terjebak di pertanyaan yang bikin kamu nggak nyaman.

Kita nggak bisa mengubah hal yang sudah membudaya, tapi kita bisa menciptakan budaya baru yang sesuai dengan zaman kita hidup saat ini. Suatu saat nanti, mungkin apa yang kita anggap lumrah juga sudah nggak relevan lagi dengan generasi di bawah kita. Ya memang zaman terus berkembang…

Kita nggak bisa bikin orang lain berhenti bertanya tentang hal yang bikin kita nggak nyaman karena memang tingkat ketidaknyamanan orang lain itu subyektif. Ada yang lebih bangga dengan statusnya sebagai ibu rumah tangga dan nggak nyaman saat ditanya kenapa nggak bekerja saja, ada yang nggak nyaman ditanya pekerjaannya karena masih belum sesuai keinginannya, ada yang sukses dengan kerjaannya tapi nggak nyaman ditanya kapan nikah karena belum juga dipertemukan dengan jodohnya.

Intinya, di dunia yang penuh subyektivitas ini, senjata kita buat menghadapi pertanyaan yang nggak nyaman adalah mental yang sekuat baja.

Tapi mungkin juga bukan kita yang sepenuhnya salah karena terlalu baper. Kadang ada orang-orang tertentu yang saking terlalu perhatiannya bertanya yang lebih detail seperti indepth interview sampai harus mempertanyakan hal-hal yang seharusnya mungkin tidak perlu dipertanyakan.

“Wuri kok belum nikah juga?”

“Jadi ini kapan pastinya mau nikah?”

“Kok belum tahu sih, memangnya belum dilamar?”

“Lha kenapa kok nggak ndang dilamar, kan sudah lama sekali pacarannya?”

“Sebenernya serius nggak sih pacarannya?”

Yaa, mohon maaf lahir dan batin saja deh yaa~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *