28 November 2021 jadi hari di mana saya resmi mengubah status jadi istri seseorang. Kadang masih ada rasa nggak percaya, akhirnya bisa sampai di titik ini juga. Bukan karena menikah jadi impian saya sejak lama. Justru sebaliknya, flashback ke diri saya yang dulu, saya bukan tipe orang yang percaya tentang yang namanya pernikahan.
Ya, menikah memang ibadah dan bentuk komitmen, tapi bullshit banget. Biarpun ilmu agama saya cetek, tapi saya percaya masih ada bentuk ibadah lain yang bisa dilakukan dan juga punya nilai kemuliaan tersendiri. Merawat dan menanggung hidup orang tua, menyantuni anak-anak yang kurang beruntung, dan berbagai hal sederhana lain yang memberi manfaat buat orang lain juga bentuk ibadah. Justru makna ‘ibadah’ dalam pernikahan ditarik olor sembarangan jadi alasan sebagian orang buat beristri lebih dari satu. Sesuai tuntunan agama lah, katanya. Bullshit banget.
Dan kalau komitmen? Oh please, masih ada orang-orang yang memutuskan buat bercerai setelah menjalani apa yang mereka bilang ‘komitmen’. Even my parents did it a long time ago. Tapi saya sama sekali nggak menyalahkan mereka. Mereka punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik buat diri mereka. Biarpun pada akhirnya harus saya akui kalau mereka masih gagal memutuskan apa yang terbaik buat anak-anaknya. But, they’re still my parents, after all.
Lalu, bagaimana dengan alasan menikah untuk meneruskan keturunan? Jelas itu bukan sebuah alasan buat saya. Jadi orang tua itu berat, sis. Nggak ada anak yang minta dilahirkan, jadi nggak seharusnya mereka jadi alasan buat menambah kebahagiaanmu. Egois sekali rasanya kalau bayi yang masih lemah dan nggak berdaya itu tiba-tiba harus menanggung jobdesc berat yaitu menjadi pelengkap kebahagiaan orang tuanya. Justru harusnya tanggung jawab orang tualah yang bertambah. Bukan semata-mata buat ngurus anak dan tiba-tiba anak itu udah besar aja. Tapi, orang tua harus bisa menjamin anak-anaknya tumbuh jadi anak yang bahagia dan siap menghadapi semrawutnya dunia.
Duh, ngomong apa sih ini. Hahaha.
Intinya, dengan berbagai alasan dan pengalaman hidup di masa lalu, wajar rasanya kalau akhirnya saya tidak percaya dan tidak ingin menikah. Dan kemudian kehidupan mempertemukan saya pada skenario paling menarik. Cerita yang dimulai dari sebuah momen krisis identitas saat maba yang membuat saya randomly curhat pada seseorang, ternyata jadi awal percakapan seru lainnya. Iya, itulah momen saat saya bertemu dengan dia, Wahyu Trihantoro.
Aura kelamnya saat awal kuliah dulu entah kenapa jadi magnet tersendiri buat saya. Mungkin begitu ya, sesama anak broken home punya radar untuk saling menemukan, lalu berteman. Tapi, dari teman jadi pacaran itu sih yang di luar dari rencana awal. Ya iyalah, dulu saya naksir kakak tingkat anak Impala yang super keren dengan segala karismanya kok. Tapi justru nyangkutnya sama teman curhat sendiri. Bertahan 12 tahun pula.
Tapi, nggak ada hidup yang selalu baik-baik saja. Perjalanan 12 tahun ini pun punya banyak drama yang nggak semanis drama Korea. Berantem dengan berbagai alasan pun sudah pernah terjadi, dari yang sesepele karena masalah ego sampai miskom ala pasangan LDR saat kami mulai menjalani hubungan jarak jauh. Tapi lucunya, biarpun sama-sama sakit hati, tapi nggak ada yang mau pisah. Mirip banget sama judul lagunya Leesang, The Girl Who Can’t Breakup and The Man Who Can’t Leave.
12 tahun ini juga nggak berjalan dengan selalu setia. Ada yang tiba-tiba datang seolah ingin bertahan, tapi ternyata hanya mampir sambil lalu berjalan. Ada yang tiba-tiba datang seperti memberi harapan, tapi ternyata hanya melakukan permainan. Dan memang cuma Wahyu yang benar-benar sanggup bertahan sampai akhir. Cuma dia yang benar-benar ada menemani di saat paling terpuruk sekalipun. Di saat saya berada dalam titik terendah, sakit, hilang arah, dia yang membantu saya kembali bangkit dan menjadi diri sendiri.
Buat saya, dialah rumah, tempat paling nyaman untuk pulang dan istirahat dari bisingnya dunia dengan segala masalahnya. Dia juga satu-satunya orang yang bisa membuat saya berpikir, “Kalau suatu hari nanti saya harus menikah, itu sama kamu”.
Dan iya, akhirnya tibalah di hari itu saat kami benar-benar merencanakan untuk benar-benar menikah. Prosesnya nggak semulus yang dibayangkan ternyata, ada juga drama keluarga ala sinetron yang datang. Yang bikin saya jadi ragu dengan diri sendiri. Sempat bikin saya jadi ragu buat melanjutkan semuanya. Sempat juga bikin saya berpikir, “apa seharusnya memang tidak usah menikah saja?”
Tapi dia, di tengah drama keluarga yang ada, tetap dengan mantap menggenggam tangan saya untuk melanjutkan semuanya. Masih ingat banget kata-katanya yang saat itu bikin saya akhirnya yakin. “Kalau kamu mau dan yakin, ya ayo kita hadapi bareng.”
Bukan sebuah janji manis memang, tapi ajakan untuk menghadapinya bersama-sama bagi saya adalah sebuah tanda kalau saya nggak sendirian. Dan iya, kami pun memulai sebuah perjalanan baru untuk menghadapi drama-drama lain bersama. Semoga apapun yang terjadi, seberapa pun lamanya nanti kami bersama, keyakinan untuk tetap menghadapi segala sesuatu bersama-sama nggak akan luntur.
Terima kasih sudah seyakin itu, semoga saya tidak membuatmu menyesal.
Baca Juga Dong:
Dear Ladies, Pencapaianmu Nggak Diukur dari Seberapa Cepat Kamu Menikah Kok
Sayangi Dirimu, Sayangi Juga Kesehatan Mentalmu
Sebuah Keputusan dan Timing yang Tepat
Cerita Tentang Sebuah Tempat yang Disebut ‘Rumah’