Suatu siang, saya menerima sebuah chat dari seseorang yang dulu pernah mengisi satu segmen bagian hidup saya. Isinya adalah undangan pernikahan. Saya membalas percakapan itu dengan santai sambil berjanji akan datang jika memang memungkinkan. Janji itu bukan cuma sekadar basa-basi karena saya langsung mengirim chat kepada Mas Partner dan membicarakan kemungkinan jika memang kami bisa datang ke acara tersebut.
Di tengah percakapan kami via chat siang itu, dia tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya. Bagaimana perasaan saya? Apakah saya menyesal? Mas Partner tahu persis siapa sosok yang mengirimkan undangan tersebut. Seseorang yang pernah terasa begitu berarti bagi saya. Seseorang yang ketika melepaskannya membutuhkan proses yang begitu panjang dan melelahkan.
Setelah menghela napas yang cukup panjang, saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mantap. Intinya sih begini.
“Nggak nyesel. Yah, kadang memang masih suka inget yang dulu-dulu. Tapi aku juga sadar kalau kadang yang kita kangenin itu bukan orangnya, tapi memorinya. Sekarang sih rasanya udah kembali jadi orang asing yang menjalani hidup masing-masing. Udah gitu aja.”
Setelah mengirim chat berisi kata-kata tersebut, kepala saya terus memikirkan konsep menyesal yang lain. Apakah saya menyesal bertemu dengannya? Lagi-lagi jawabannya tidak. Tiap orang yang pernah ‘singgah’ dalam hidup saya selalu memberikan banyak pelajaran.
Tapi, siang itu penuh kejutan lain yang bukan hanya tentang undangan pernikahan saja. Ada juga sebuah obrolan iseng saat makan siang tentang seseorang lain yang mungkin saya sesali karena sempat begitu percaya padanya. Seseorang yang membuat saya merasa bodoh sebodoh-bodohnya.
Saya nggak pernah main-main dengan kehidupan, tapi entah mengapa kehidupan seolah selalu menguji saya dengan permainannya. Suatu ketika saya bertemu seseorang asing yang tiba-tiba masuk dalam hidup saya begitu saja. Awalnya saya begitu defensif, tapi dia selalu ada. Bahkan di momen ketika saya membutuhkan kehadiran seseorang secara fisik, dia yang pertama kali mengulurkan tangannya.
Singkatnya, saya menerima uluran tangannya, berusaha mengenalnya lebih jauh, dan mempercayainya. Kehadirannya menciptakan euforia tersendiri dalam hidup saya yang saat itu sedang dalam kondisi labil, berantakan, hilang arah, dan membutuhkan dukungan. Kehadirannya saya jadikan distraksi, untuk lari dari apa yang seharusnya saya hadapi.
Dan mungkin saya terlalu percaya, sekaligus terlalu polos karena menganggap dunia hanya sebatas hitam dan putih. Padahal ada abu-abu yang selalu bisa menipu. Intensitas kedekatan saya dengannya bertambah dalam dan tanpa sadar menyeret saya pada suatu kejadian paling besar yang pernah terjadi dalam hidup saya. Lalu hal itu membawa saya pada proses menyadari perlahan-lahan bahwa saya hanya terjebak dalam sebuah permainan yang beracun. Sebuah toxic relationship.
Sesuatu yang besar memang terjadi saat itu, tapi mungkin itu adalah tanda bahwa Tuhan masih sayang pada saya. Tuhan menyelamatkan saya lewat sebuah tamparan keras. Ia pasti sangat paham jika saya sangat keras kepala, sehingga butuh beberapa kali hantaman hebat untuk membuat sadar bahwa saya sudah melangkah menuju jalan yang salah.
Ternyata upaya lari dari kenyataan berbekal rasa percaya penuh dengan seseorang yang salah itu bisa jadi begitu berbahaya. Hanya karena percaya, saya bisa begitu buta, bahkan mengabaikan insting yang sebenarnya sudah hadir sejak perkenalan pertama. Saya jadi orang yang menabrak semua batas yang ada, bahkan mengabaikan prinsip yang sudah dipegang teguh sejak lama. Iya, hubungan bisa seberacun itu jika kamu lengah dengan fakta yang ada dan terus menjadikannya sebuah pelarian.
Meskipun sudah menyadari bahwa saya berada di jalan yang salah, tapi butuh proses yang panjang dan melelahkan untuk benar-benar sadar bahwa saya hanya terjebak dalam hubungan yang beracun. Masih ada banyak penyangkalan dalam kepala. Bahkan, saya menyadari bahwa saat itu saya sudah berada dalam kondisi yang hampir tidak bisa keluar jika tidak dipaksa.
Untungnya, saat berada dalam kondisi tersebut, saya punya seseorang yang mati-matian berusaha menyadarkan saya untuk kembali menjadi diri saya yang dulu. Meskipun banyak drama, perdebatan, dan rasa sakit selama prosesnya, tapi dia selalu ada. Dan dia memang orang yang selalu ada buat saya, di kondisi saya yang paling berantakan sekalipun. Iya, siapa lagi kalau bukan Mas Partner.
Setelah memutus semua akses dari hubungan beracun itu, secara perlahan, satu per satu, saya baru menyadari kalau selama ini saya hanya dibodohi oleh sebuah permainan yang tidak bisa saya kendalikan. Saya, di usia hampir 29 tahun ini, mau-maunya dibodohi anak kecil. Hahahaha. Sekarang saya hanya bisa menertawakan semua hal yang saya lakukan. Karena memang yang sudah terjadi nggak ada yang bisa diputar kembali. Yang hilang juga tidak bisa kembali.
Masa-masa memulihkan, memaafkan, dan menguatkan diri berlangsung selama berminggu-minggu lamanya. Rasa percaya yang dulu pernah ada menguap begitu saja, berubah wujud menjadi kebencian. Mungkin itu yang menjadi kekuatan saya untuk terus menjauh. Hingga tiba di suatu malam, pertemuan terakhir kami, percakapan terakhir kami, yang tiba-tiba membuat perasaan saya begitu berantakan. Saya tidak tahu pasti apa, tapi satu hal yang saya sadari setelah itu adalah saya sangat menyesal pernah mengenalnya.
I wish i never met you.