Semenjak beranjak dewasa, saya hampir nggak pernah keluar rumah di malam menjelang Hari Raya Idul Fitri alias malam takbiran. Alasannya sederhana, satu karena nggak ikutan takbir keliling, dua karena jalanan macet (katanya), dan tiga karena memang saya malas aja keluar rumah. Jadi, tahun ini bisa dibilang adalah momen perdana saya menjajal keluar rumah saat malam takbiran.
Awalnya sempat cemas kalau pulangnya terjebak macet. Apalagi kalau arah pulangnya ke daerah rumah saya di Gadang, banyak titik kemacetan yang nggak bisa dihindari. Ternyata, lalu lintas cenderung lancar. Di beberapa titik memang padat, tapi nggak bisa dibilang macet juga. “Ah, jadi seperti ini wajah Malang di malam takbiran,” begitu yang saya pikirkan waktu melihat beberapa panggung di jalan yang menampilkan santri-santri menggemakan takbir. Bikin adem hati waktu lewat.
Dan di tengah perjalanan sambil menikmati gema takbir dari berbagai penjuru, pikiran saya mulai melakukan kontemplasi. Kalau dipikir-pikir, gema takbir selalu identik dengan 3 hal: takbir semalam suntuk, speaker masjid, dan petasan.
Gema takbir itu seharusnya syahdu. Iyalah, pujian mengagungkan Tuhan pasti menggetarkan hati siapapun umatnya. Tapi, ada sebuah catatan kecil di sini. Dulu, waktu saya masih tinggal di jalan Sebuku, Malang, kebetulan rumah saya berhadapan langsung dengan sebuah langgar. Lokasinya di perkampungan padat penduduk. Punya rumah di dekat langgar itu menyenangkan. Apalagi kalau Salat Ied berlangsung, nggak perlu datang buru-buru demi mendapat tempat. Tinggal nyebrang jalan, pasang sajadah di tempat yang diinginkan, lalu pulang lagi. Beres. Tapi, yang sedikit nggak enak itu saat malam takbiran berlangsung.
Saya sama sekali nggak bermasalah dengan takbiran semalam suntuk yang biasa dilakukan warga. Tapi ya tapi… biarpun langgar itu kecil, mereka punya speaker super besar yang suaranya mengguncang banget. Percaya atau nggak, setiap bunyi yang keluar dari speaker itu sampai bikin kaca jendela di rumah saya bergetar. Sering cemas dan berdoa semoga nggak pecah aja.
Itu masih belum seberapa. Orang tua sampai anak kecil yang takbiran semalam suntuk itu ternyata menghabiskan waktunya nggak cuma dengan takbiran. Mereka main petasan cuy! Entah ini budaya dari mana, tapi memang udah familiar banget rasanya setiap malam takbiran pasti semakin diriuhkan dengan suara petasan. Yang menurut saya nggak beda jauh sama ricuh.
Karena langgarnya tepat di depan rumah saya, dan orang-orang itu main petasan di depan langgar, bisa kebayang dong suaranya yang membahana? Apalagi petasan yang dimainin bukan yang cuma sekali meledak terus habis. Bisa jadi rentetan ledakan yang nggak berhenti-henti. Belum lagi kalau pas mereka lempar dan jatuhnya tepat di dalam pagar rumah saya, rasanya udah kaya suara ledakan bom molotov aja.
Jadi gini, dari kontemplasi yang (ternyata) isinya keluhan ini, saya bukannya nggak suka mendengar suara takbir. Setelah merasakan sendiri ‘anarkis’nya perilaku oknum yang bikin suara takbiran jadi nggak syahdu, rasanya penting deh buat mulai mengatur suara speaker yang ada di masjid, musala, langgar, dan sebagainya. Dan lebih menertibkan lagi suara petasan yang nggak ada toleransinya. Apalagi di perkampungan padat penduduk.
Kalau kamu begadang sih ya boleh aja, tapi jangan bikin orang lain ikut begadang juga gara-gara speaker masjid yang terlalu overexposure dan petasan yang bikin takbiran nggak lagi syahdu. Gimana kalau semisal ada tetangga yang lagi sakit dan butuh istirahat? Ini juga pengalaman nyata yang pernah saya rasakan.
Sebelum Eyang meninggal, beliau pernah melalui satu kali bulan Ramadan. Saat itu kondisinya sudah cukup parah, terkena serangan stroke untuk yang kedua kalinya, nggak bisa bicara dengan jelas dan nggak bisa beranjak dari tempat tidurnya. Fisiknya sudah lemah. Malam takbiran kali itu rasanya saya kasihan saat menjaga Eyang. Suara speaker masjid yang terlalu ‘bergemuruh’ dan petasan yang nggak berhenti sepanjang malam bikin Eyang bolak-balik terbangun dari tidurnya. Waktu itu saya cuma berdoa semoga kagetnya Eyang nggak sampai bikin serangan jantung atau apalah. Mungkin kamu menilainya lebay, tapi yaa namanya juga jagain orang sakit di rumah kan…
Ternyata memang nggak sampai terjadi hal-hal buruk. Tapi, tetap saja rasanya malam takbiran harusnya bisa berlangsung dengan syahdu dan penuh toleransi. Kalau ingat pengalaman Ramadan saat itu, saya otomatis merasa setuju dengan sebuah kritikan yang pernah ditulis Tirto.id tentang toa masjid.
Tuhan Maha Mendengar, jadi nggak perlu berteriak.
Kalau nggak salah seperti itu sih. Saya berusaha mencari jejak digitalnya tapi nggak ketemu. Mungkin sudah dihapus karena gara-gara postingan ini Tirto dibully netizen. Konteksnya, saat itu Tirto menulis tentang aturan toa masjid dan ada quote tersebut di dalam infografisnya. Netizen budiman langsung merasa panas karena toa masjid digunakan untuk adzan, memanggil umat, bukan memanggil Tuhan, sehingga quote tersebut dianggap salah alamat.
Tapi rasanya relevan kalau dikaitkan dengan malam takbiran.
Kalau dari pendapat sok tahu saya sih semacam ini. Speaker masjid boleh disetel semaksimal mungkin volumenya saat adzan, karena tujuannya memanggil orang salat. Takbiran, pengajian, juga nggak masalah. Kalau memang mau dilakukan semalam suntuk ya silakan, tapi sebaiknya di jam-jam tertentu yang sudah menunjukkan larut malam, ada baiknya mengaji atau bertakbir dengan volume yang lebih rendah, atau nggak pakai speaker kalau bisa. Tuhan tetap mendengar puji-pujian dan pengajian yang kamu lakukan kok. Dan buang jauh-jauh kebiasaan main petasan saat malam takbiran. Karena serius, itu sangat mengganggu.
Semoga kita menjadi umat yang semakin toleran. Aamiin. Selamat Lebaran ya, mohon maaf lahir batin!